Sabtu, 12 November 2016

KESEHATAN MENTAL



BAB I
Pendahuluan

Dalam setiap tahap perkembangan manusia terdapat kriteria sehat mental, kesehatan mental pada anak berbeda dengan sehat mental pada remaja, begitu pula berbeda dengan dewasa. Dimana kesehatan mental yang normal pada setiap tahap perkembangan.
Sedangkan yang dimaksud Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya.
Kesehatan mental merupakan keinginan wajar bagi setiap manusia seutuhnya, tapi tidaklah mudah mendapatkan kesehatan jiwa seperti itu. Perlu pembelajaran tingkah laku, pencegahan yang dimulai secara dini untuk mendapatkan hasil yang dituju oleh manusia. Untuk menelusurinya diperlukan keterbukaan psikis manusia ataupun suatu penelitian secara langsung atau tidak langsung pada manusia yang menderita gangguan jiwa. Pada dasarnya untuk mencapai manusia dalam segala hal diperlukan psikis yang sehat. Sehingga dapat berjalan menurut tujuan manusia itu diciptakan secara normal.
Jadi Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis dan dimiliki oleh seorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara mental maupun secara sosial.





BAB II
Pembahasan

A.     Pengertian Kesehatan Mental
Istilah kesehatan mental diambil dari kosep mental hygiene. Kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berati kejiwaan. Kata mental memiliki persamaan makna dan kata psyche yang berasal dari bahasa latin yang berarti psikhis atau jiwa. Hygiene berasal dari bahasa inggris yang berarti kesehatan. Mental Hygiene berarti kesehatan mental.
Dikalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk menyebut kesehatan mental berbeda-beda dengan kriteria berbeda pula. Maslow menyebut kesehatan mental dengan istilah Self-actualization, Rogers menyebutnya dengan Fully Functioning, Allport menyebutnya dengan Mature Personality, dan mayoritas psikolog menyebutnya dengan Mental Health.
Banyak defenisi yang dikemukakan berkaitan dengan kesehatan mental. Musthafa Fahmi mendefenisikan kesehatan mental menjadi dua defenisi. Pertama, kesehatan mental bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (Psikiatri). Kedua, kesehatan mental adalah dengan cara aktif, luas, lengkap, tidak terbatas, ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya dalam kehidupan yang sunyi dari kegoncangan dan penuh vitalitas. Seorang yang bermental sehat dapat menerima dirinya dan tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial, juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar akan tetapi dia berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi, dan pikiran dalam berbagai lapangan dan dibawah pengaruh semuah keadaan.
Zakiyah Djarajat dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1964) mengemukakan lima rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari rumusan-rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum, sehingga dari urutan itu tergambar bawa rumusan yang terakhir seakan-akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya, yaitu:
1.      Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose) defenisi ini banyak dianut dikalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari segi sehat atau sakitnya.
2.      Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat dia hidup. Defenisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum dari pada defenisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan menimbulkan ketenteraman dan kebahagian hidup.
3.      Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Defenisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan saling bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup yang menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
4.      Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga menbawa kepada kebahagian diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Defenisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar  membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain dan dirinya sendiri.
5.      Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berlandaskan keimanan dan ketakwaan , serta bertujuan untuk mencapai tujuan hidup yang bermakna dan bahagia dunia dan akhirat.
Kartini Kartonodan Jenny Andari mengetengahkan rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat. Kesehatan mental mempunyai tema sentral yaitu cara memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hdup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka dan konflik bantik.
Mujib dan Muzakkir menyebutkan kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis. Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor. Orang yang memiliki mental yang sehat mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan mental adalah memiliki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya.
Berbagai pendapat diatas menunjukkan bahwa kesehatan mental adalah kondisi kejiwaan yang terbebas dari gangguan-gangguan mental. Kesehatan mental muncul dari kemampuan seseorang untuk menjaga, bertahan, dan meningkatkan ketahanan mentalnya dalam menghadapi persoalan hidup.
Istilah kesehatan mental dalam al quran dan hadist digunakan dalam berbagai kata antara lain najat (keselamatan), fawz (keberuntungan), falah (kemakmuran), dan sa’adah (kebahagiaan). Bentuk kesehatan mental meliputi:
1.      Di dunia yaitu keselamatan dari hal-hal yang mengancam kehidupan dunia.
2.      Kehidupan di akhirat yaitu selamat dari celaka dan siksaan diakhirat termaksud menerima ganjaran dan kebahagian dari berbagai bentuk.
Menurut Hasan Langgulung, kesehatan mental identik dengan akhlak mulia. Kesehatan mental didefenisikan sebagai keadaan jiwa yang menyebabkan merasa rela (ikhlas) dan tenteram ketika ia melaksanakan akhlak yang mulia. Yahya Jaya menjelaskan bahwa kesehatan mental menurut Islam yaitu, identik dengan ibadah dan pengembangan potensi drii yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada allah dan agamaNya untuk mendapatkan jiwa yang tenang dan bahagia dengan kesempurnaan iman dalam hidupnya. Berdasarkan beberapa pendapat kesehatan mental dalam islam diartikan sebagai keselamatan dunia dan akhirat dalam bentuk kebaikan dan kebahagian. [1]  
Kesehatan mental sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian dari psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang membutuhkan jawaban atas berbagai permasalahan yang melingkupinya. Kemudahan yang didapat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industri belum mampu memenuhi kebutuhan rohani, malah memunculkan permasalahan-permasalahan baru, seperti kecemasan akibat dari kemewahan hidup yang diraihnya. Dampak lain adalah mereduksinya integritas kemanusiaan, yang akhirnya membawa manusia terperangkap dalam jaringan sistem rasionalitas teknologi yang tidak manusiawi. Demikian ungkap Sayyid Husain Nasr.
Pada bagian lain berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia, khususnya berkaitan dengan krisis yang menyusup dalam berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun budaya, serta berbagai kerusuhan etnis di berbagai pelosok negeri, semakin menambah persoalan dalam  kesehatan mental. Adanya asumsi bahwa 2% bangsa Indonesia terganggu jiwanya dapat dijadikan sebagai dasar bahwa persoalan kesehatan mental semakin membutuhkan perhatian yang semakin serius.
Disamping itu adanya perhatian manusia yang besar terhadap kesejahteraan hidupnya, serta adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan pembinaan kesejahteraan hidup bersama ikut mempercepat perkembangan ilmu kesehatan mental.
Apakah yang dimaksud dengan kesehatan mental? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diacak dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar Psikologi. Dalam perjalanan sejarahnya pengertian kesehatan mental mengalami perkembangan sebagai berikut:
a.       Kesehatan Mental adalah Terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (Neurosis dan Psikosis).
Pengertian ini masih terlihat sempit dan terbatas, karena yang dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya mereka yang tidak terganggu dan tidak berpenyakit jiwanya. Namun demikian pengertian ini mendapat banyak sambutan dari kalangan Psikiatri.
Kembali pada istilah Neurosis, pada awalnya kata tersebut berarti ketidak beresan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan susunan syaraf, tapi juga dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka aspek mental dan (Psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.
b.      Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat, serta lingkungan dimana dia hidup.
Pengertian ini luas dan umum, karena telah dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyusuaian diri, diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup.
c.       Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi peroblem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (Konflik).
d.      Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin sehingga membawa kebahagian diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
Dari pengertian di atas dapat diambil suatu batasan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapai masalah-masalah dari kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia dan serta dapat menggunakan potensi-potensi yang ada semaksima mungkin.
Batasan pengetian tersebut diatas belum termasuk didalamnya unsur agama sehingga Zakiyah Daradjat menambahkan harus berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertjuan mencapai hidup bermaknya bahagia duni dan akhirat.
Dari keterangan diatas, memunculkan 4 pola wawasan dengan orientas masing-masing, demkian kongklusi yang diambil oleh Hanna Djumhana Bastaman menanggapai kesehatan mental di atas. Pola wawasan tersebut adalah:
a.       Pola wawasan berorien tasi pada simto matis.
b.      Pola wawasan pada penyesuaian diri.
c.       Pola wawasan pada pengembangan potensi.
d.      Pola wawasanpada agama (keruhanian).
Masih dalam pembahasan yang sama, Organisasi Kesehatan Duni (WHO) pada tahun 1959 memberikan bataasan mental yang sehat dalah sebgai berikut:
1.      Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan tersebut buruk baginya
2.      Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya
3.      Merasa lebih puas memberi dari pada menerima
4.      Secara relatif dari sara tegang dan cemas
5.      Berhubngan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan
6.      Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian hari
7.      Menjurskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang keretatif dan konstruktif
8.      Mempunyai kasih sayang yang besar
Keteria tentang batasan sehat yang dikemukakan oleh WHO pada tahun 1994 disempurnakan dengan menambahkan satu elemen seperitual (agama). Oleh karena itu, yang dimaksud dengan sehat adalah bukan sehat dari segi fisik, psikologik dan sosial saja, akan tetapi sehat dalam arti spiritual/agama, atau dalam istilah Dadang Hawari disebut dengan 4 dimensi sehat: bio-psiko-sosial-spiritual.

B.     Prinsip-Prinsip Kesehatan Mental
Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip keshatan mental adalah dasar yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan mental yang baik serta terhindar dari gangguan kejiwaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.      Gambaran dan Sikap yang Baik Terhadap Diri Sendiri
Prinsip ini bisa diistilahkan dengan self image. Prinsip ini antara lain dapat dicapai dengan penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan pada diri sendiri. Self image juga disebut dengan citra diri merupakan salah satu unsur penting dalam pengembangan pribadi. Citra diri positif akan mewarnai pola hidup, sikap, cara pikir dan corak penghayatan, serta ragam perbuatan yang positif pula. Carl Rogers mengemukan dua ragam citra diri:
a.       Citra diri aktual (the actualized self image) citra ini merupan gambaran seseorang mengenai dirinya pada saat sekarang.
b.      Citra diri ideal (the idealized self image) gambaran seseorang mengenai dirinya seperti yang diidam-idamkan.
Citra diri ini dapat dikatakan sebagai sumber motivasi dari seluruh perbuatan manusia.
2.      Keterpaduan antara Integrasi Diri
Yang dimaksud keterpaduan disini adalah adanya keeimbangan antara kekuatan-kekuatan jwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam hidup dan kesanggupan mengatasi setres. Dalam bahasa lain orang yang memiliki kesatuan pandangan hidup adalah orang yang memperoleh makna dan tujuan dalam hidupnya. Sedangkan orang yang mampu mengatasi stres berarti orang yang sanggup memenuhi kebutuhannya, dan apa bila menemui hambatan ia dapat mengadakan suatu inovasi dalam memenuhi kebutuhannya.
3.      Perwujudan Diri
Merpakan proses pematangan diri. Menurut Reiff, orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampun mengaktualisasikan diri  atau mampu mewujudkan potensi yang dimilikinya, serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang baik dan memuaskan
4.      Berkemampuan Menerima Orang Lain
Melakukan aktifitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal. Kecakapan dalam hidupnya merupaka dasar bagi kesehatan mental yang baik. Untuk mendapatkan penyesuaian diri yang sukses dalam kehidupam, minimal orang harus memiliki pengetahuan dan keterampilan, mempunyai hubungan yang erat dengan orang yang mempunyai otoritas dan mempunyai hubungan yang erat dengan teman-teman.
5.      Berminta dalam Tugas dan Pekerjaan
Orang yang menyukai terhadap pekerjaan walau pun berat maka akan cepat selesai dari pada pekerjaan yang ringan tetapi tidak diminati.
6.      Agama, Cita-Cita, dan Falsafah Hidup
Untuk pembinaan dan pengembangan kesehatan mental orang membutuhkan agama, seperangkat cita-cita yang konsisten dan pandangan hidup yang kokoh.
7.      Pengawasan Diri
Mengadakan pengawasan terhadap hawa nafsu atau dorongan dan keinginan serta kebutuhan oleh akal pikiran merupakan hal pokok dari kehidupan orang dewasa yang bermental sehat dan berkeperibadian yang normal, karena dengan pengawasan tersebut orang mampu membimbing segala tingkah lakunya.
8.      Rasa Benar dan Tanggung Jawab
Rasa benar dan tanggung jawab penting bagi tingkah laku, karena setiap individu ingin bebas dari rasa dosa, salah dan kecewa. Rasa benar, tanggung jawab dan sukses adalah keinginan setiap orang yang sehat mentalnya. Rasa benar yang ada dalam diri selalu mengajak orang kepada kebaikan, tanggung jawab dan rasa sukses, serta membebaskannya dari rasa dosa, salah, dan kecewa.

C.    Kedudukan dan Peran Kesehatan Mental
Para ahli kesehatan mental telah sepakat bahwa kedudukan kesehatan mental dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian:
1.      Kesehatan Mental Sebagai Kondisi (keadaan)
Kedudukan kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan) mengacu kepada pengertian kesehatan mental seperti tersebut diatas, seperti terhindar gangguan kejiwaan (neuroses) dan penyakit kejiwaan (psychoses). Selain itu juga mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan dengan masyarakat dimana ia hidup, mampu mengendalikan diri dalam berbagai masalah serta terwujudnya keserasian dan keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaan.
2.      Kesehatan Mental Sebagai Ilmu Pengetahuan
Sebagai cabang ilmu psikologis, kesehatan mental bertujuan untuk menggambarkan semuah potensi yang ada pada manusia seoptimal mungkin, serta memanfaatkannya sebaik-baiknya agar terhindar dari gangguan dan penyakt kejiwaan.
3.      Kesehatan Mental Sebagai Terapi
Kesehatan mental sebagai ilmu jiwa terapan, mengkaji dan mengembangkan teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan.
            Dalam duni kehidupan, fungsi, dan peranan kesehatan mental tampak lebih jelas lagi. Maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk beribadah dalam pengertian luas. Ibadah dalam pengertian, kegiatannya mencangup seluruh aspek kegiatan manusia. Baik yang bersifat i’taqad pikiran, amal sosial, jasmani, ruhani, akhlak, dan keindahan.
Dari uraian singkat di atas dapat dilihat bagai mana kedudukan kesehatan mental dalam Islam. Kesehatan mental dalam Islam adalah ibadah dalam pengertian luas atau pengembangan potensi diri yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan agamanya, untuk mendapatkan al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang dan bahagia).[2] Seperti firman Allah dalam surah: $pkçJ­ƒr'¯»tƒ ß§øÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ   ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ  
Artinya:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”.
D.    Ciri-ciri Kesehatan Mental Menurut Psikologi
            Mental yang sehat memiliki cirri-ciri tertentu secara psikologi. Jaelani dengan mengutip beberapa pendapat para ahli menyatakan cirri-ciri mental yang sehat antara laimn:
1.      Sikap keperibadian yang baik terhadap diri sendiri dalan arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik.
2.      Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan dari yang baik.
3.      Integrasi yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahapan terhadap tekanan-tekanan yang terjadi.
4.      Otonomi diri yang mencangkup unsure-unsur pengaturan kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
5.      Persepsi mengenal realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati, dan kepekaan sosial.
6.      Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik (A.F. Jaelani, 2000, 75-77)
Bastaman merangkum pandangan-pandangan tentanng kesehatan mental menjadi empat pola wawasan masing-masing orientasinya sebagai berikut:
1.      Pola wawasan yang berorientasi simtomatis
2.      Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri
3.      Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
4.      Pola wawasan yang berorientasi agama/kehormatan
Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomastis menganggap bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluah (complaints) merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnyan seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Kondisi ini juga dianggap sebagai kondisi sehat.
Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsure utama dari kondisi jiwa yang sehat. Penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupa memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebuthan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi mudah terombang-ambing situasi (Hanna Jumhana Bastaman, 1997: 133-135).
Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makheluk bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insane (human qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggung jawab, kecerdasan, kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut ini sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kehormatan. Berpandangan bahwa agama/kehormatan memiliki daya yang dapat menunjang kesehatann jiwa. Kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan ketaqwaan kepada tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan dapat diajukan secara oprasional tolak ukur kesehatan mental atau kondisi jiwa yang sehat.
Marie Johada berpendapat ciri-ciri kesehatan mental yang sehat dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1.      Memiliki sikap batin (attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2.      Aktualisasi diri
3.      Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis ada
4.      Madiri
5.      Memiliki persiapan yang obyektif terhadap realitas yang ada
6.      Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan  diri sendiri
Menurut Dadang Hawari (1995) kriteria mental yang sehat itu:
1.      Mampu belajar dari pengalaman
2.      Lebih senang member dari pada menerima
3.       Lebih senang menolong dari pada ditolong
4.      Mempunyai rasa kasih sayang
5.      Memperoleh hasil kesenangan dari hasil usahanya
6.      Menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pengalaman
7.      Berfikir positif
Manifestasi mental yang sehat secara psikologi menurut Maslow dan Mittlemen Notosoedirjo adalah sebagai berikut:
1.      Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan merasa aman dalam hubugannya dengan pekerjaan, social, dan keluarga.
2.      Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendir yang memadai), yang mencangkup:
a.       Harga diri yang memadai, yaitu merasa ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya,
b.      Memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral yang berlebihan
c.       Mampu mengenai beberapa hal yang secara social dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang kehidupan dimasyarakat.
3.      Adequate spontaneity and emotionality (memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai, dengan orang lain). Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan member ekspresi yang cukup pada ketidak sukaan tanpa kehilangan control, kemampuan memahami dan membagi raasa kepada orang lain.
4.      Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan realitas) kontak ini sedikitnya mencangkup tiga aspek, yaitu: dunia fisik, social, dan diri sendiri atau internal.
5.      Adequate bidily desires dan ability to gratify them (keinginan-keinginan jasmani yang menandai dan kemampuan untuk memuaskannya).
6.      Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang wajar).
7.      Integration dan concistensy of personality (kepribadian yang utuh dan konsisten).
8.      Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar)
9.      Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan.
10.  Ability to satisfy the requirements of the group (kemampuan memuaskan tuntutan kelompok).
11.  Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau bidaya).
Word Health Organization (WHO) sebagiamana dikuti Tumanggor telah mentapkan cirri-ciri Mental Health adalah:
a.       Adjustmen (penyusaian diri).
b.      Integrated Personality (kepribadian utuh/kokoh).
c.       Free of the Senses of Frustration, Conflic, Anxiety, and Depression (bebas dari rasa gagal, pertentangan batin, kecemasan, dan tekanan).
d.      Normative, semua sikap dan tingkah laku yang dilahirkannya tidak ada yang lolos dari jaringan Nilai/Adat/Agama/Peraturan/UU.
e.       Responsibility (bertanggung jawab).
f.        Maturity (kematangan), terdapat kematangan dalam melakukan suatu sikap dan tingkah laku-tingkah laku itu dijalankan penuh pertimbangan.
g.      Otonomi (berdiri sendiri), selalu bersifat mandiri atas segala tugas-tugas atau kewajiban yang menjadi bebannya, tanpa suka memikul bebannya kepada orang lain dalam kondisi yang tidak terpaksa.
h.      Well Decision Making (pengambilan keputusan yang baik) (Rusmini Yumanggor, 2002: 76-84).

E.     Ciri-ciri Mental yang Sehat Menurut Islam
            Beberapa ahli-ahli pendidikan dan psikologi Islam telah telah mengemukakan beberapa cirri-ciri mental yang sehat menurut ajaran agama Islam. Al-Ghazali menyatakan seorang yang sehat jiwanya digambarkan dalam konsep insane kamil (manusia paripurna/sempurna). Insan kamil dalam kensep psikologi modern yaitu bias berlaku didunia ini artinya untuk sampaki pada kedudukan insan kamil mannusia melalui perubahan kualitatif sehingga ia mendekati Allah dan menyurupai malaikat. Insan kamil mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1.      Motif utama seiap tindakannya dalah beribadah kepada Allah.
2.      Senantiasa berdzikir (mengingat Allah) dalam menghadapi segala permasalahan.
3.      Beramal dengan ilmu.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2002) menyatakan tanda-tanda kesehatan mental adalah adanya perasaan cinta. Cinta dianggap sbagai tanda kesehatan mental sebab cinta menunjukan diri positif. Cinta mendorong individu untuk hidup berdamai, rukun, saling kasih-mengasih, dan menjauh kan diri ddari kebencian, dendam, permusuhan, dan pertikaian,
Menurut Usman Najati (2004: 249-296) kesehatan mental ditandai dengan kesehatan jiwa, akhlak mulia, kesehatan dan kekuatan badan, memenuhi kebutuhan dasar dengan cara yang halal, memenuhi kebutuhan spiritual dengan berpegang teguh pada akidah. Dan menjuhkan diri dari segala keburukan yang dapat menyebabkan Allah Swt murka.
Ar-Razi (dalam Usman Najati, 2002: 46) menyatakan bahwa jiwa yang sehat adalah jiwa yang terbebas dari kesedihan, kekangan hawa nafsu, cinta kepa selain Allah secara berlebihan, terbebas dari ujub dan hasud, dan selalu menjaga diri untuk melakukan akhlak yang mulia.
Di dalam Al-quran jiwa yang sehat ditandai dengan sikap siddiq (jujur), amanah (dipercaya), fatanah (cerdas), dan tabligh (menyamoaikan). Cirri Pertama adalah jujur. Seperti firman Allah dalam Q.S Al-Ahzab ayat 24, yang berbunyi:
yÌôfuÏj9 ª!$# tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNÎgÏ%ôÅÁÎ/ z>Éjyèãƒur šúüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# bÎ) uä!$x© ÷rr& z>qçGtƒ öNÎgøŠn=tæ 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÍÈ     
Artinya:
“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan  menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ciri kedua pribadi yang sehat adalah pribadi yang dapat memelihara amanah, menyampaikannya atau melaksanakannya. Sebagai mana firman Allah dalam Q.S Al-Mu’ajirin ayat 32, yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur öLèe öNÍkÉJ»oY»tBL{ ôMÏdÏôgtãur tbqããºu ÇÌËÈ     
Artinya:
“dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.
Ciri Ketiga fa­­tanah (cerdas). Cerdas secara intelektual (IQ), cerdas secara emosional (EQ), dan cerdas secara spiritual (SQ) dalam perimbangan yang tinggi. Lebih tepat dikatakan IQ-EQ-SQ berkembang secara terintegrasi. Pribadi unggul ini suka mencari, mendengar dan menerima ilmu. Sekua mneyebarkan ilmu dan cinta kepa ilmu. Seperti firman allah dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 11, yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
Artinya:
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
            Ciri keempat mental yang dalam Islam adalah tabligh yaitu menyampaikan ajaran ilaki dan mengajak kejalan Tuhan (nilai-nilai keutamaan, etika khalusan dan kebenaran pada umumnya). Tidak bersikap pasif atau tak peduli terhadap kondisi lingkungan atau masyarakat. Sebaliknya, proaktif dalam membimbing, mengkondisikan dan memimpin umat. Allah berfirman dalam Q.S Ali-Imran ayat 110, yang berbunyi:
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
Artinya:
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.

F.     Agama dan Kesehatan Mental
            Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena factor-faktor tertentu yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk menutupi atau meniadakan sana sekali dorongan dan rasa keagamaan tidak mungkin dilakukan manusia.
            Hasil penelitian menurut para ahli tentang dampak positif agama atau keimanan kepada Tuhan terhadap kesehatan mental dan kemampuan mengatasi stress, yang mengatasinya sebagai berikut:
·         Palaotzian dan Kirkpatrick (1995) mengemukanan bahwa agama (keimanan) dapat meningkatkan kesehatan mental dan membantu individu untuk mengatasi stress.
·         Elison (1991) mengemukakan bahwa agama dapat mengembangkan kesehatan mental psokoligis banyak orang. Orang-orang yang kuat keimanannya kepada Tuhan lebih bahagia dalam hidupnya, dan lebih sedikit mengalami dampak negative dari peristiwa kehidupan yang traumatic dibandingkan dengan orang-orang yang rendah keimanannya kepada tuhan (tidak melaksanakan ajaran agama).
·         Koeing Dkk (1988) mengemukakan bahwa banyak orang yang secara spontan melaporkan bahwa agama sangant menolong dirinya pada saat mengetasi stress.
·         McCullough Dkk (2000) mengemukakan bahwa beragama dapat memperpanjang usia.
·         Seybold dan Hill (2001) agama itu bukan hanya sebagai bagian hidup yang bermakna, tetapi juga memberikan keuntungan dalam mengembangkan mental yang sehat.
Di dalam Islam ditegaskan bahwa manusia memiliki fitrah beragama bergitu dia diciptakan Allah Swt firman beragama ini menjadikan manusia yang mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Tidak ada manusia yang dapat merubah ayat-ayat Al-quran, diantaranya pada Q.S An-Nahl ayat 97, yang berbunyi:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ  
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
[839] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
            Ditekankan dalan ayat diatas bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal setelah harus disertai iman. Keimanan dapat menghasilkan ketenangan jiwa yang merupakan salah satu indikasi mental yang sehat. Allah berfirman tentang hubungan iman dengan ketenangan mental dalam Q.S Ar-Ra’ad ayat 28, yang berbunyi:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ  
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.




























BAB III
MODEL-MODEL KESEHATAN JIWA DALAM ISLAM

Menurut Eisenberg (Helman, 1990), yang dimaksud dengan model adalah cara merekonstruksi realita, memberikan makna kepada fenomena-fenomena alam yang pada dasarnya bersifat chaos. Sekali model telah ditetapkan, model tersebut akan bertindak melakukan verifikasi terhadap model itu sendiri dengan cara mengeluarkan atau mengabaikan fenomena yang berada di luar sudut pandang pengguna model tersebut.
Model sangat berguna dalam memahami suatu realita, tapi karena sifatnya yang cenderung melakukan simplifikasi terhadap realita yang sebenarnya kompleks, maka dimungkinkan adanya bermacam-macam model untuk memahami realita yang sama.
Pada bidang kesehatan terdapat dua model utama dalam memahami kesehatan, yaitu model Barat dan model Timur. Kedua model tersebut memang dipengaruhi oleh budaya Barat dan budaya Timur yang memang pada dasarnya memiliki perbedaan besar. Namun di dalam model-model tersebut sendiri terdapat variasi yang disebabkan karena adanya perbedaan budaya di antara kedua model tersebut.
Model kesehatan Barat dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu model biomedis atau juga sering disebut sebagai model medis, model psikiatris dan model psikosomatis. Model kesehatan Timur umumnya disebut model kesehatan holistik yang menekankan pada keseimbangan.
Model biomedis berakar jauh pada pengobatan tradisional Yunani. Pengobatan ini dipengaruhi oleh filosofi Yunani, terutama dari pemikiran Plato dan Aristoteles yang bersifat abstrak dan sistematis serta dijalankan dengan rasional dan logis. Konsepsi mengenai dunia pada dasarnya bersifat dualistik sehingga manusia dapat dibedakan menjadi tubuh dan jiwa. Cara pandang yang demikian ini memengaruhi dunia barat sampai beberapa abad kemudian, yang dapat ditemui kembali jejaknya pada Descartes.
Perkembangan ilmu biologi yang pesat, lebih-lebih dengan diketemukannya virus dan bakteri sebagai sumber terjadinya penyakit, menyebabkan model biomedis ini berkembang dengan sangat pesat dan memengaruhi konsep manusia mengenai kesehatan di Barat. Sejak itu, penyakit dan kesehatan semata-mata dihubungkan dengan tubuh saja. Berbagai upaya dilakukan untuk menjadikan tubuh tetap sehat. Semboyan Men Sana In Corpore Sano merupakan contoh pandangan yang menekankan dominasi tubuh terhadap kesehatan.
Selain itu, perkembangan ilmu dan teknologi juga memengaruhi cara masyarakat memandang tubuh dan kaitannya dengan kesehatan yang semakin memperkuat model biomedis ini. Cara memandang tubuh yang pertama adalah apa yang dinamakan sebagai model ‘pipa’. Model ini memandang tubuh sebagi lubang-lubang atau ruangan-ruangan yang saling berhubungan satu sama lain denagn disambungkan oleh pipa-pipa. Model ini percaya bahwa kesehatan terjadi karena berbagai substansi yang ada di dalam tubuh bisa mengalir dengan lancar ke berbagai bagian tubuh. Penyakit terjadi sebagai akibat adanya hambatan pada pipa yang ada di dalam tubuh. Model kedua memandang tubuh sebagai sebuah mesin. Model ini beranggapan bahwa tubuh memiliki semacam mesin dan memerlukan bahan bakar atau baterai sebagai sumber energi yang dapat diperbarui. Bahan bakar atau baterai itu dibutuhkan agar tubuh dapat bekerja dengan baik. Model mesin juga mencakup gagasan bahwa tubuh ibarat bagian-bagian mesin, dapat rusak sehingga perlu diganti.
Model biomedis memiliki 5 asumsi. Asumsi yang pertama adalah bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tubuh dan jiwa sehingga penyakit diyakini berada pada suatu bagian tubuh tertentu. Asumsi kedua adalah bahwa penyakit dapat direduksi pada gangguan fungsi tubuh, entah secara biokimia atau neurofisiologis. Asumsi ketiga adalah keyakinan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh suatu agen khusus yang secara potensial dapat diidentifikasi (specific etiology). Asumsi keempat adalah melihat tubuh sebagai suatu mesin (sama dengan keterangan sebelumnya). Asumsi kelima adalah konsep bahwa tubuh adalah objek yang perlu diatur dan dikontrol. Asumsi ini merupakan kelanjutan dari asumsi bahwa tubuh adalah suatu mesin yang perlu mendapatkan pemeliharaan.
Model psikiatris, sebenarnya masih berkaitan dengan model biomedis. Model ini pada dasarnya masih mendasarkan diri pada pencarian bukti-bukti fisik dari suatu penyakit dan penggunaan treatment fisik (obat-obatan atau pembedahan) untuk mengoreksi abnormalitas. Namun model ini menunjukkan dengan jelas adanya model-model yang saling bertentangan yang digunakan oleh psikiater yang berbeda untuk menjelaskan gangguan psikosis. Model-model tersebut meliputi: model organik yang menekankan pada perubahan fisik dan biokimia di otak; model psikodinamik yang berkonsterasi pada faktor-faktor perkembangan dan pengalaman; model behavioral yang menyatakan bahwa psikosis terjadi karena kemungkinan-kemungkinan lingkungan; dan modek sosial yang menekankan gangguan dalam kerangka performansinya.
Model psikosomatis, merupakan model yang muncul kemudian karena adanya ketidakpuasan terhadap model biomedis. Model ini dikembangkan oleh Helen Flanders Dunbar sekitar tahun 1930-an. Model ini muncul setelah jurang antara aspek-aspek biologis dan psikologis terjembatani lewat karya Sigun Freud (ketidaksadaran), Ivan Pavlov (respon terkondisi), dan WB Cannon (reaksi serang dan kabur). Gerakan psikosomatik ini dimulai di Jerman dan Austria pada tahun 1920-an, menyebar ke banyak negara di Eropa, kemudian dengan adanya migrasi ke Amerika (seperti Franz Alexander) minat terhadap gangguan psikosomatik ini pun turut terbawa ke sana.
Model psikosomatik ini menyatakan bahwa tidak ada penyakit somatik yang disebabkan oleh antesenden emosional dan atau sosial. Sebaliknya tidak ada penyakit psikis yang tidak disertai oleh simtom-simtom somatik.
Menurut model psikosomatik ini, penyakit berkembang melalui saling terkait secara berkesinambungan antara faktor fisik dan mental yang saling memperkuat satu sama lain melalui jaringan yang kompleks. Penyembuhan penyakit diasumsikan terjadi melalui cara yang sama juga.
Berbeda dengan model kesehatan di Barat, model kesehatan Timur umumnya bersifat lebih holistis. Menurut Capra, holisme dalam dunia kedokteran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti yang sempit dan dalam arti yang luas. Holisme dalam arti yang sempit melihat organisme manusiawi sebagai suatu sistem kehidupan yang semua komponennya saling terkait dan saling tergantung. Sementara menurut arti yang luas, pandangan holistis menyadari bahwa suatu sistem tersebut merupakan suatu bagian integral dari sistem-sistem yang lebih luas, dimana organisme individual berinteraksi terus menerus dengan lingkungan fisik dan sosialnya, yaitu tetap terpengaruh oleh lingkungan tetapi juga bisa memengaruhi dan mengubah lingkungan teresbut.
A.    Pemahaman Tentang Penyakit
Istilah penyakit memiliki makna yang berbeda karena berasal dari kata yang berbeda, yaitu illness dan disease. Istilah ‘penyakit’ yang digunakan dala tulisan ini berasal dari kata ‘illness’ bukan ‘disease’. Cassell menggunakan kata ‘illness’ untuk menyatakan apa yang dirasakan oleh pasien ketika dia datang kepada dokter dan ‘disease’ untuk menyatakan apa yang dibawa si pasien ke rumah setelah dari ruang dokter. Dengan demikian, penyakit ‘disease’ adalah sesuatu yang dimiliki organ, sedangkan penyakit ‘Illnes’  adalah sesuatu yang dimiliki manusia, yaitu respon subjektif pasien dan segala sesuatu yang meliputinya.
Sejalan dengan pendapat Cassell, Kleinman’s mendefinisikan ‘disease’ menagcu pada kondisi biofisik-masalah seperti yang dilihat dari perspektif praktisi biomedis. Sebaliknya, illness mengacu pada bagaimana orang yang sakit dan anggota keluarganya atau jaringan sosial yang lebih luas merasakannya, hidup dengan dan bereaksi terhadap simtom-sitom dan ketidakmampuannya.
Kesulitan muncul karena dokter yag dididik dengan sistem pengobatan Barat terlatih pada konsep penyakit dalam pengertian disease, sehingga mereka kurang mampu menangani penyakit dalam pengertian illness. Atau sebaliknya, penyakit (disease) yang sama mungkin diartikan secara sangat berbeda dari dua pasien yang berlatar belakang budaya yang berbeda dan dalam konteks yang bereda sehingga mendapatkan treatment yang berbeda pula. Misalnya, gejala flu di Barat mendapatkan pehatian yang cukup serius, sedangkan pada negeri kita flu dianggap merupakan penyakit yang wajar.
Bisa terjadi disease terjadi tanpa adanya illness. Teknologi kedokteran yang maju memungkinkan untuk mendeteksi adanya penyakit tanpa orang yang bersangkutan menyadari penyakitnya. Hal ini bisa memengaruhi perilaku orang tersebut, misal dala hal kepatuhan. Bagaimana orang bisa patuh untuk melakukan nasihat dokter bila dia masih belum merasa ada yang aneh dengan dirinya?
Sebaliknya, bisa terjadi illness tanpa adanya disease. Pasien merasa adanya sesuatu yang salah dalam kehidupan mereka secara fisik, emosional maupun sosial, tapi setelah diperiksa secara fisik tidak ada sesuatu yang salah. Meskipun begitu mereka masih tetap merasa tidak bahagia. Biasanya penyakit seperti ini disebabkan oleh stres kehidupan dan dikategorikan sebagai penyakit psikosomatis.[3]



















Daftar Pustaka
Sit, Masganti, 2014,  Psikologi Agama, Medan: Perdana Publising
Sururin, 2004, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Siswanto, 2007, Kesehatan Mental, Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya, Yogyakarta: Penerbit Andi


[1] Dr. Masganti Sit, M.Ag, Psikologi Agama, Medan: Perdana Publising, 2014, Hal.155
[2] Sururin, M.Ag, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hal.150
[3] Siswanto, S.Psi., M.Psi., Kesehatan Mental, Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2007, Hal.17
htt//ikadinikartika.kesehatan mental.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar